JURNALKATA.NET/ Jakarta. – Lingkungan Kementerian Kemenkumham RI, ‘CSR’ dikenal sebagai pihak yang bisa memenuhi keinginan siapa saja yang ingin mendapatkan promosi jabatan strategis. Seorang pegawai di Kementerian bahkan menyamakan ‘CSR’ dengan karakter Teletubbies karena kekuasaan mereka dalam mengatur mutasi pegawai.
Hingga kini, belum ada tindakan signifikan dari Kementerian Hukum dan HAM pasca rapat dengar pendapat (RDP) antara Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly bersama Komisi III DPR RI yang membahas munculnya inisial ‘CSR’. Sosok ‘CSR’ disebut-sebut mampu mengotak-atik mutasi pejabat di lingkungan Kementerian.
“Itu sudah bukan rahasia umum. Makanya, siapa yang berani dengan ketiga oknum ini. Sudah pastilah, ada orang di belakangnya. Kalau seperti ini, bisa rusak,” celetuk seorang pegawai di lingkungan kementerian, dikutip Media MemoIndonesia.co.id, Jakarta, 14/07/2024.
Sebelumnya, Komisi III DPR RI membongkar sejumlah masalah di Kemenkumham, mulai dari dugaan penyimpangan dalam mutasi dan promosi jabatan hingga masalah pungutan liar (pungli) di Rutan dan Lapas. Dalam Rapat Kerja dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada Rabu, 12 Juni 2024, Supriansa mencurigai adanya praktik jual beli jabatan di lingkungan Kemenkumham.
‘CSR’ diduga adalah singkatan dari tiga nama: Cesco, Susanti, dan Reza. Anggota Komisi III DPR RI, Supriansa, dengan terang-terangan mengungkapkan siapa inisial ‘CSR’ ini, yang dianggap mampu memindahkan pejabat ke posisi yang lebih strategis dan menjanjikan.
Berdasarkan informasi yang beredar, inisial ‘C’ diduga merujuk pada nama Picesco Andika Tulus, Kepala Bagian Pengembangan Karir; inisial ‘S’ diduga adalah Susanti, Kepala Bagian Perencanaan SDM; dan inisial ‘R’ diduga Reza Adityas Ananda, yang juga memiliki jabatan strategis mengotak-atik posisi mutasi. Dengan begitu jangan harap prestasi mentereng bisa mendapatkan posisi sesuai kerja keras dan cerdas yang dilakukan selama ini.
Dalam RDP beberapa waktu lalu, Supriansa mengungkapkan bahwa orang yang paling berpengaruh di Kemenkumham bukanlah pejabat-pejabat tinggi, tetapi kelompok yang dikenal sebagai ‘CSR’.
Mereka diduga mengontrol promosi, penyesuaian ijazah, CPNS, dan penerimaan taruna. Supriansa meminta aparat penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, atau KPK untuk turun menelusuri dugaan ini, karena jika terbukti, hal ini akan merusak reputasi Kemenkumham RI.
“Katanya orang yang paling berpengaruh di Kementerian Hukum dan HAM ini bukanlah pejabat-pejabat tinggi di atas, yang berpengaruh untuk menempatkan orang-orang itu promosi, penyesuaian ijazah, CPNS, atau penerimaan taruna. Ini seperti dikontrol oleh orang atau kelompok yang diberi nama CSR,” ungkap Supriansa dalam RDP beberapa waktu lalu.
Supriansa memulai dengan menanyakan jumlah ASN yang dimutasi dan mendapat jawaban bahwa ada sekitar 500-an pegawai. Berdasarkan data yang dimilikinya, ada 594 pegawai yang mengalami mutasi dan promosi, dengan 44 persen atau sekitar 265 pegawai tidak tercantum dalam usulan Direktorat Jenderal. Khusus untuk Dirjen Imigrasi, 36 persen atau 217 orang tidak sesuai dengan usulan, sedangkan 18,8 persen atau 112 orang sesuai dengan usulan.
Jika hal itu benar, ia meminta aparat penegak untuk turun menelusuri dugaan tersebut. Karena akan merusak reputasi di Kemenkumham RI.
“Saya minta kalau ini benar, CSR ini supaya jangan rusak Pak Menteri. Kalau sampai akhir jabatan tidak bisa diperbaiki, saya berharap aparat penegak hukum bisa turun di sini. Kejaksaan, Kepolisian atau KPK,” pintar Supriansa menegaskan.
Supriansa mencurigai adanya dugaan jual beli jabatan dalam promosi dan mutasi di Kemenkumham, yang bertentangan dengan merit sistem yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Sistem ini seharusnya mengedepankan kompetensi, keahlian, dan kinerja ASN. Namun, Supriansa khawatir perekrutan dan penempatan pegawai di Kemenkumham tidak berdasarkan sistem ini, melainkan dipengaruhi oleh kedekatan dengan pihak tertentu.
Dia mendesak Menkumham untuk memperbaiki sistem di lembaganya agar tidak ada pihak eksternal yang berpengaruh dan merusak tatanan yang ada.
“Jika informasi ini benar, maka berbahaya. Akan rusak mental-mental para pegawai yang ada karena mereka merasa tidak perlu ahli dalam bidangnya, melainkan harus mengumpulkan uang untuk mendekati seseorang,” Tukas Supriansa.
@Eko/Jurnalkata.Net/JK/07/2024.