Ini Kata Akademisi, Percaya Kemasan Plastik PET Berbahaya Mengandung Etilen Glikol

Regulator tidak boleh bersikap diskriminatif dengan hanya menyorot potensi bahaya satu jenis kemasan satu jenis kemasan saja seperti Polikarbonat (PC), tanpa melakukan transparansi bahaya untuk jenis kemasan lain seperti kemasan plastik PET yang digunakan untuk galon sekali pakai. Jakarta, 22/06/2023. Masalahnya, BPOM itu tidak pernah mengakui kesalahannya dan melakukan riset terhadap galon PET ini. @Eko/Jurnalkata/JK/06/2023.

JURNALKATA/ Jakarta. -Ada puluhan jenis kemasan yang diizinkan digunakan sebagai kemasan makanan minuman oleh BPOM – termasuk aneka jenis kemasan plastik – dan semuanya memiliki resiko karena terbuat dari zat kimia. 

Regulator tidak boleh bersikap diskriminatif dengan hanya menyorot potensi bahaya satu jenis kemasan satu jenis kemasan saja seperti Polikarbonat (PC), tanpa melakukan transparansi bahaya untuk jenis kemasan lain seperti kemasan plastik PET yang digunakan untuk galon sekali pakai. Demikian dikatakan oleh Kepala Center For Entrepreneurship, Tourism, Information and Strategy Pascasarjana Universitas Sahid, Algooth Putranto, di Jakarta, 22/06/2023. 

“Tapi, pada tahu nggak kalau bahan pembuatan galon sekali pakai atau yang PET itu juga mengandung etilen glikol yang kemarin lagi ramai mencemari obat batuk. Masalahnya, BPOM itu tidak pernah mengakui kesalahannya dan melakukan riset terhadap galon PET ini,” ujar Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta ini. 

Pada kasus sirup obat batuk, dia bahkan melihat keanehan, di mana perusahaan-perusahaan farmasi yang memproduksi sirup obat batuk itu tidak tahu bahwa barang yang disuplai oleh supplier sudah mendapat tanda tangan dari BPOM bahwa itu tercemar. “BPOM tidak pernah mengakui kesalahan,” katanya.

Begitu juga dengan isu BPA berbahaya galon guna ulang, dia juga melihat perlakukan serupa di mana tidak ada transparansi dari BPOM terkait masalah ini. Dia mengatakan BPOM pernah menyampaikan hasil risetnya yang mengatakan telah menemukan adanya galon yang telah melewati batas aman di beberapa kota. “Tapi lagi-lagi BPOM tidak mau menyebutkan galon dari brand apa saja yang ditemukan itu. Ini kan bisa sangat membingungkan masyarakat,” ucapnya.  

Secara aspek kimia, dia mengaku tidak tahu sama sekali mengenai zat-zat kimia dalam kemasan pangan ini. Namun, dari ilmu komunikasi, dia mengatakan bahwa ada ketidaktransparanan regulator dalam mempublikasikan hasil risetnya terhadap zat-zat kimia berbahaya yang ada dalam kemasan pangan seperti kasus etilen glikol yang terjadi baru-baru ini. 

“Bukan ranah saya mengomentari aspek kimia dari etilen glikol dan BPA yang ada dalam kemasan pangan. Tapi, saya bisa menganalisanya dari sudut komunikasinya,” ujarnya. 

Dia mencontohkan soal BPA yang cuma menyampaikan berdasarkan apa yang dibacanya dari kasus-kasus yang terjadi di Eropa dan Amerika. Begitu juga dengan perkembangan isu ini di Indonesia. Begitu juga dengan etilen glikol yang ada pada sirup obat batuk dan galon sekali pakai, dia hanya mengetahui secara teori saja bahwa zat-zat kimia dalam kemasan-kemasan itu bisa membahayakan kesehatan. 

“Tapi bagaimana zat-zat tersebut bisa membahayakan, itu kan ranahnya para ahli-ahli kimia yang tahu. Saya sama sekali tidak paham hal itu,” tuturnya. 

Sebelumnya, Sasmito Madrim, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), mengatakan pentingnya peran media dalam melindungi masyarakat dari kemasan-kemasan yang membahayakan kesehatan. 

“Menurutnya, tujuan kode etik dan prinsip jurnalisme yang dimuat dalam Undang-Undang Pers adalah untuk kepentingan publik. “Jadi, media seharusnya menyajikan informasi-informasi yang sudah valid, terbukti kebenarannya, supaya publik kemudian bisa mengambil keputusan-keputusan yang tepat,” katanya.

Dia mengutarakan bahwa media itu berperan penting dalam memberikan edukasi ke publik. Persoalannya, menurutnya, pengetahuan para awak media itu sering tidak mendalam. 

“Semangat teman-teman media dalam melindungi kesehatan publik itu cukup besar. Hanya memang teman-teman jurnalis atau editor, pemred atau medianya sendiri kurang teredukasi terkait apa yang ditulisnya, termasuk soal zat-zat yang berbahaya dalam kemasan pangan,” tuturnya.

Karena itu, dia mengusulkan perlunya kolaborasi para peneliti dengan media. Hal itu bertujuan supaya media itu memiliki “pisau bedah” yang cukup kuat ketika melihat sebuah persoalan, sehingga mereka bisa melihat masalah itu dan disampaikan ke publik dengan benar.

“Sebaiknya, ada penularan ilmu dari para peneliti terkait zat-zat kimia berbahaya dalam kemasan pangan itu ke media. Hal itu bertujuan agar para media bisa mengemasnya dalam bahasa yang sederhana ke publik dan publik menjadi terlindungi dari zat-zat berbahaya.

@Eko/Jurnalkata/JK/06/2023.

#BPOM #KemasanPlastik #Polikarbonat