Tak Boleh Asal Klaim Sebut Iklan, Bebas BPA Ini Kata ” Dewan Periklanan Indonesia

Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia, Janoe Arianto menyampaikan tidak boleh ada iklan yang asal klaim seperti halnya iklan sebuah produk air minum dalam kemasan (AMDK) yang mengklaim kemasannya 100% bebas BPA sementara kemasan produknya itu sama sekali tidak mengandung BPA. Jakarta, 09/12/2023. Dia menuturkan iklan-iklan yang sifatnya mengklaim seperti ‘bebas BPA’ itu, bisa saja akan membingungkan masyarakat. @Eko/Jurnalkata.Net/Jk/12/2023.

JURNALKATA.NET/ Jakarta. – Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia, Janoe Arianto menyampaikan tidak boleh ada iklan yang asal klaim seperti halnya iklan sebuah produk air minum dalam kemasan (AMDK) yang mengklaim kemasannya 100% bebas BPA sementara kemasan produknya itu sama sekali tidak mengandung BPA. Menurutnya, klaim-klaim seperti itu sama sekali tidak sesuai dengan etika periklanan yang sehat.

“Jadi, klaim-klaim terhadap sesuatu zat apakah mengandung atau tidak mengandung zat tersebut, itu harus dijelaskan secara jelas kepada publik. Secara etika periklanan harusnya seperti itu. Klaim itu tidak boleh asal mengklaim. tapi publik harus punya literasi, publik harus tahu klaim itu apa dasarnya. Itu basic etika sebenarnya. Jadi, orang gak misunderstanding dengan klaim-klaim yang dibuat, apalagi yang berhubungan dengan kesehatan,” ujarnya.

Lanjutnya, apapun headline, apapun sub headline, komunikasi itu tidak bisa asal menyebut tanpa menjelaskan secara literasi kepada masyarakat dari yang diklaimnya itu. “Jadi, itu etikanya ya,” tukasnya.

Dia menuturkan iklan-iklan yang sifatnya mengklaim seperti ‘bebas BPA’ itu, bisa saja akan membingungkan masyarakat. “Karena, masyarakat bisa menafsirkan kalau bebas zat A ini aman dan kalau ada zat A ini berarti tidak aman. Ini kan masyarakat jadi bingung, dan sebenarnya gak etis iklan-iklan yang in general seperti itu,” katanya.

Sama halnya dengan iklan-iklan yang mengklaim produknya tidak mengandung lemak, tidak mengandung kolesterol, sebenarnya itu tidak bisa. Apalagi tidak ada penjelasan dari apa yang diklaim itu. “Karena, publik kan harus punya akses untuk mengetahui informasi itu sejelas-jelasnya, nggak boleh kemudian hanya mengklaim tanpa penjelasan. Itu tidak etik namanya,” ucap Janoe.

Jika klaim itu tidak disertai dengan claritynya, menurutnya, klaim-klaim seperti ‘bebas BPA’ pada kemasan produk AMDK tertentu, itu akan menjadi kontroversial. Jadi, katanya, secara etis clarity itu, transparansi itu dibutuhkan untuk sebuah komunikasi atau iklan yang terbuka. “Jadi, jika diklaim bahan itu bebas BPA, harus dijelaskan sebenarnya bahan itu dibuat dari apa. Jadi, istilahnya untuk tidak membuat isinya menjadi greenwashing,” ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengatakan iklan itu hanya berupa kampanye untuk sebuah produk atau lembaga. Yang dimuat itu adalah keunggulan-keunggulan produk atau lembaganya dengan tidak berupaya untuk menjatuhkan produk atau lembaga pihak lain. “Iklan itu kan hanya kampanye tentang produk, bukan menjelek-jelekkan produk orang lain. Jadi, bentuknya juga tidak perlu cover both side seperti berita,” tukasnya.

Hal senada disampaikan mantan Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Chairudin Bangun. Dia juga mengatakan tidak boleh iklan itu memuat unsur persaingan usaha tidak sehat yang mendiskreditkan produk pihak lain. “Tidak boleh. Iklan harus tunduk pada aturan yang ditetapkan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia atau P3I,” katanya.

Dalam Pasal 44 Bab III ayat (1) dari PP 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan juga dengan jelas disebutkan bahwa setiap Iklan tentang pangan yang diperdagangkan wajib memuat keterangan mengenai pangan secara benar dan tidak menyesatkan, baik dalam bentuk gambar dan atau suara, pernyataan, dan atau bentuk apapun lainnya. Bahkan di dalam Pasal 47 ayat (1) dengan tegas dinyatakan bahwa iklan produk pangan dilarang dibuat dalam bentuk apapun untuk diedarkan dan atau disebarluaskan dalam masyarakat dengan cara mendiskreditkan produk pangan lainnya.

Kemudian, setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah itu akan dikenakan tindakan administratif berupa peringatan secara tertulis dan pengenaan denda paling tinggi Rp 50 juta dan atau pencabutan izin produksi atau izin usaha.

Dewan Periklanan Indonesia Sebut Iklan “Bebas BPA” Tidak Boleh Asal Klaim

Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia, Janoe Arianto menyampaikan tidak boleh ada iklan yang asal klaim seperti halnya iklan sebuah produk air minum dalam kemasan (AMDK) yang mengklaim kemasannya 100% bebas BPA sementara kemasan produknya itu sama sekali tidak mengandung BPA. Menurutnya, klaim-klaim seperti itu sama sekali tidak sesuai dengan etika periklanan yang sehat.

“Jadi, klaim-klaim terhadap sesuatu zat apakah mengandung atau tidak mengandung zat tersebut, itu harus dijelaskan secara jelas kepada publik. Secara etika periklanan harusnya seperti itu. Klaim itu tidak boleh asal mengklaim. tapi publik harus punya literasi, publik harus tahu klaim itu apa dasarnya. Itu basic etika sebenarnya. Jadi, orang gak misunderstanding dengan klaim-klaim yang dibuat, apalagi yang berhubungan dengan kesehatan,” ujarnya.

Lanjutnya, apapun headline, apapun sub headline, komunikasi itu tidak bisa asal menyebut tanpa menjelaskan secara literasi kepada masyarakat dari yang diklaimnya itu. “Jadi, itu etikanya ya,” tukasnya.

Dia menuturkan iklan-iklan yang sifatnya mengklaim seperti ‘bebas BPA’ itu, bisa saja akan membingungkan masyarakat. “Karena, masyarakat bisa menafsirkan kalau bebas zat A ini aman dan kalau ada zat A ini berarti tidak aman. Ini kan masyarakat jadi bingung, dan sebenarnya gak etis iklan-iklan yang in general seperti itu,” katanya.

Sama halnya dengan iklan-iklan yang mengklaim produknya tidak mengandung lemak, tidak mengandung kolesterol, sebenarnya itu tidak bisa. Apalagi tidak ada penjelasan dari apa yang diklaim itu. “Karena, publik kan harus punya akses untuk mengetahui informasi itu sejelas-jelasnya, nggak boleh kemudian hanya mengklaim tanpa penjelasan. Itu tidak etik namanya,” ucap Janoe.

Jika klaim itu tidak disertai dengan claritynya, menurutnya, klaim-klaim seperti ‘bebas BPA’ pada kemasan produk AMDK tertentu, itu akan menjadi kontroversial. Jadi, katanya, secara etis clarity itu, transparansi itu dibutuhkan untuk sebuah komunikasi atau iklan yang terbuka. “Jadi, jika diklaim bahan itu bebas BPA, harus dijelaskan sebenarnya bahan itu dibuat dari apa. Jadi, istilahnya untuk tidak membuat isinya menjadi greenwashing,” ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengatakan iklan itu hanya berupa kampanye untuk sebuah produk atau lembaga. Yang dimuat itu adalah keunggulan-keunggulan produk atau lembaganya dengan tidak berupaya untuk menjatuhkan produk atau lembaga pihak lain. “Iklan itu kan hanya kampanye tentang produk, bukan menjelek-jelekkan produk orang lain. Jadi, bentuknya juga tidak perlu cover both side seperti berita,” tukasnya.

Hal senada disampaikan mantan Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Chairudin Bangun. Dia juga mengatakan tidak boleh iklan itu memuat unsur persaingan usaha tidak sehat yang mendiskreditkan produk pihak lain. “Tidak boleh. Iklan harus tunduk pada aturan yang ditetapkan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia atau P3I,” katanya.

Dalam Pasal 44 Bab III ayat (1) dari PP 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan juga dengan jelas disebutkan bahwa setiap Iklan tentang pangan yang diperdagangkan wajib memuat keterangan mengenai pangan secara benar dan tidak menyesatkan, baik dalam bentuk gambar dan atau suara, pernyataan, dan atau bentuk apapun lainnya. Bahkan di dalam Pasal 47 ayat (1) dengan tegas dinyatakan bahwa iklan produk pangan dilarang dibuat dalam bentuk apapun untuk diedarkan dan atau disebarluaskan dalam masyarakat dengan cara mendiskreditkan produk pangan lainnya.

Kemudian, setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah itu akan dikenakan tindakan administratif berupa peringatan secara tertulis dan pengenaan denda paling tinggi Rp 50 juta dan atau pencabutan izin produksi atau izin usaha.

@Eko/Jurnalkata.Net/JK/12/2023.