JURNALKATA/ Jakarta. – Beredarnya video tahun 2018 tentang temuan mikroplastik di dalam air kemasan, yang diduga diedarkan kembali oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, mendapat perhatian dari pakar ITB. Pakar Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D mengatakan peluruhan mikroplastik dari kemasan makanan dan minuman (mamin) ke dalam produknya sama sekali tidak mengganggu kesehatan para konsumen. Dia beralasan Mikroplastik itu bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan bahan lain yang ada dalam kemasan tersebut.
“Kita sebagai ahli plastik melihat mikroplastik itu tidak masalah karena dia kan inert dan tidak bereaksi dengan yang lain. Karena sifatnya yang inert inilah makanya plastik itu juga banyak dipakai untuk kemasan makanan dan minuman,” ujarnya.
“Begitu juga kalau berada di dalam tubuh, menurut Zainal, mikroplastik itu sama sekali tidak akan mengganggu kesehatan karena tidak bisa diserap oleh usus masuk ke dalam darah sehingga akan keluar lagi dari dalam tubuh. “Jadi, mikroplastik itu tidak berbahaya sama sekali bagi kesehatan karena dia inert dan nggak bisa diserap oleh usus ke dalam darah,” tukasnya.
WHO mengatakan bahwa data mengenai keberadaan mikroplastik dalam air minum yang tersedia saat ini sangat terbatas. Tak banyak studi yang meneliti hal tersebut. Hal itu membuat pihaknya kesulitan untuk menganalisis hasilnya. Karenanya, WHO meminta para peneliti untuk melakukan evaluasi lebih mendalam tentang dampak potensial plastik terhadap kesehatan manusia.
“WHO juga mendesak penekanan angka polusi sampah plastik untuk lingkungan yang lestari. “Kami sangat perlu mengetahui lebih banyak tentang dampak kesehatan dari mikroplastik, karena mereka ada di mana-mana,” ujar Direktur Departemen Kesehatan Masyarakat WHO, Maria Neira.
“Dia juga mengutarakan belum pernah ada satu penelitian yang membuktikan bahwa mikroplastik itu berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia. “Tapi kalau ukurannya nano, itu baru bisa dipertanyakan apakah bisa diserap oleh darah, lalu bisa menumpuk di jaringan-jaringan tertentu di dalam tubuh kita.
“Jadi, yang masih diperdebatkan sekarang itu menurut saya adalah bahaya untuk nanoplastik. Tapi ini juga masih diperdebatkan dalam arti masih dipelajari,” tuturnya.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO sendiri, kata Zainal, masih belum menyatakan apa-apa soal bahaya mikroplastik ini. Hal itu karena memang belum bisa dibuktikan baik secara medis dan kimia. “Jadi, belum ada faktanya secara medis dan secara kimia. Dan sampai sekarang masih belum ada yang bisa menggantikan kemasan berbahan plastik sebagai wadah untuk makanan dan minuman,” katanya.
Seperti diketahui, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa tingkat mikroplastik dalam air minum belum begitu berbahaya bagi kesehatan manusia. Dalam penelitian dampak paparan mikroplastik dalam air keran dan kemasan, WHO bahwa resiko mikroplastik dalam air minum itu sangat rendah. “Untuk meyakinkan konsumen air minum di dunia, kami menyampaikan bahwa berdasarkan penelitian ini, kami menemukan risiko mikroplastik dalam air minum adalah rendah,” ujar Koordinator Air dan Sanitasi WHO, Bruce Gordon.
Kendati minim risiko, WHO tetap merekomendasikan beberapa langkah yang bisa diambil untuk mencegah dampak mikroplastik terhadap kesehatan manusia.
“Langkah-langkah harus diambil oleh pembuat kebijakan dan masyarakat untuk mengelola plastik dengan lebih baik. Masyarakat juga perlu mengurangi penggunaan plastik jika memungkinkan,” ujar Gordon.
Sebelumnya, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito juga mengakui belum ada standar kadar aman kandungan mikroplastik dalam minuman. Sebab, WHO sebagai organisasi kesehatan dunia belum mengeluarkan batasan kandungan mikroplastik dalam standar air minum. “Terkait dengan standar air minum, kami merujuk pada WHO. Karena kajian tentang itu belum ada, WHO pun baru mengeluarkan pernyataan untuk mencermati kembali temuan tersebut,” katanya.
“Peneliti kimia Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andreas bahkan mengutarakan pihaknya sama sekali belum pernah melakukan penelitian terkait dampak mikroplastik terhadap kesehatan manusia. “Kalau terkait dengan dampak mikroplastik terhadap kesehatan di dalam darah itu belum pernah kita lakukan,” jelas Andreas.
Dia juga menambahkan belum ada ketentuan ambang batas yang bisa masuk ke dalam tubuh manusia karena standar pengukuran yang masih berbeda-beda. “Kalau memang sudah ada pasti sudah diadopt terkait aturan itu. Dunia juga belum memiliki standarisasi terkait dengan itu. Biasanya kalau dunia sudah ada, kita pasti terlibat dalam penyusunan terkait standar tersebut,” ungkapnya.
Dosen dan profesor yang menekuni bidang Food Process and Engineering Laboratory di Institut Pertanian Bogor (IPB), Purwiyatno Hariyadi, juga mengatakan semua kemasan termasuk plastik mempunyai peranan sangat penting dalam melindungi produk yang dikemas baik terhadap kerusakan fisik (benturan, gesekan, goresan, dan lain-lain) maupun kerusakan kimia (karena bereaksi dengan oksigen dan air) dari lingkungan. Kemasan pangan juga berfungsi mencegah terjadinya kontaminasi, baik kontaminasi karena mikroorganisme, serangga, binatang pengerat, ataupun bahan-bahan kimia pada produk pangan yang dikemas.
Karena itu, pemilihan bahan pengemas yang tepat serta proses pengemasan yang baik sangat penting untuk menentukan masa kadaluarsa produk pangan yang dikemas.
”Bisa dibayangkan betapa repotnya industri harus menangani susu dan air mineral yang mau dijual jika tidak dilakukan pengemasan. Karena itu, pemilihan bahan pengemas harus dilakukan secara tepat, dengan memperhatikan interaksi antara bahan pangan, bahan pengemas dan lingkungannya. Dengan demikian, kerusakan bahan pangan bisa dikendalikan dengan baik pula,” Pungkasnya.
@Sonny/Jurnalkata/JK/05/2023.
#PakarPolimer #InstitutTeknolgiBandung #Mikroplastik